Sejarah Ahlussunnah Waljama'ah

Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU)
Teluk Batang

Sepeninggal Nabi Muhammad Saw., salah satu persoalan penting yang belum diwasiatkan secara sharih dan tegas adalah masalah “Khilafah”, “jabatan pengganti”, yakni berkaitan dengan eksistensi beliau sebagai seorang pemimpin sebuah organisasi sosial politik di Madinah. Posisi beliau sebagai pembawa risalah ilahiyyah jelas telah ditegaskan beliau dalam berbagai pesannya, dengan sharih beliau berpesan bahwa sepeninggal beliau, ada dua hal yang mampu menyelamatkan umat islam dari bencana dan kesesatan, yakni Al Qur’an dan Sunnah. Pernyataan ini dikuatkan pula dengan wahyu yang terakhir turun, yakni surat Al Ma’idah ayat ke-3.

pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu


Jadi dalam posisi ini, beliau tidak membutuhkan pengganti atau khalifah.

Sedangkan untuk urusan siyasiyah (Politik), secara definitif tidak ada calon pengganti Nabi Muhammad Saw., seperti yang dikenal dengan sebutan “Putra Mahkota”. Masalah ini justru menawarkan angin segar bagi terciptanya pola kepemimpinan kolektif pasca Rasulullah yang demokratis pada saat bangsa bangsa lain di belahan dunia lainnya justru mengembangkan budaya dinastik dan kekuasaan diktator.

Di sisi lain, konsekuensi pola kepemimpinan demokratis yang mentolerir munculnya perbedaan pendapat dari berbagai level dan strata kehidupan, jelas merupakan hal baru bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab. Sebelumnya, fanatisme rasial sangat kental dalam diri mereka. Maka sangat wajar jika baru beberapa saat setelah Nabi Saw. wafat bahkan belum sempat mengurus jenazah Nabi Saw., diantara kaum Muslim sudah berkembang isu suksesi. Dalam situasi duka, para sahabat sudah mengadakan rapat di Saqifah Bani Sa’idah. Pertemuan yang terdiri dari golongan Anshar dari suku Aus dan Khazraj dan Muhajirin itu diwarnai silang pendapat yang mengunggulkan calon masing-masing. “Minna Amir wa Minkum Amir” (Kalian punya pemimpin, kami juga punya pemimpin) adalah ungkapan krusial dari tajamnya perbedaan tersebut. Ketegangan mereka mereda setelah mereka sepakat membai’at Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah.

Keputusan ini bisa dikatakan “lonjong” karena tidak semua kaum Muslim berpartisipasi ataupun menyepakati terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq. Realitas menunjukkan, Ali ibn Abi Thalib dan istrinya, Fatimah binti Rasulullah, serta beberapa sahabat dari keluarga Bani Hasyim, belum menyatakan Bai’at (pernyataan loyalitas) kepada khalifah terpilih. Ali baru menyatakan bai’at enam bulan kemudian setelah Fatimah wafat. Reaksi lain yang lebih ekstrem muncul dari sejumlah suku-suku Arab. Mereka menyatakan menolak dan membangkang pada pemerintahan yang baru. Mereka pun kemudian disebut “murtad”, yang “membangkang” Pada saat itu juga muncul golongan murtad dimana mana, golongan yang menolak menunaikan zakat serta munculnya nabi nabi palsu.. Singkatnya, di sejumlah daerah pinggiran kekuasaan Islam, keresahan semakin marak. Daerah yang masih stabil hanya mencakup sekitar pusat kekuasaan : Madinah, Makkah, dan Tha’if. Alhasil, mulai saat itu, visi siasah umat Islam sudah tidak satu langkah lagi, meski aspek aqidah dan syari’ah masih tetap utuh.

Sungguhpun demikian, situasi kritis ini segera dapat diatasi oleh Khalifah Abu Bakar dalam tempo relatif cepat, hingga kepemimpinannya mendapat pengakuan penuh dari umat sampai wafat pada 13 H. Kesuksesan khalifah pertama ini dibuktikan pula dengan mulusnya suksesi khalifah berikutnya melalui sistem pengangkatan yang diwasiatkan Khalifah Abu Bakar kepada Umar ibn Al-Khatthab.

Semasa Khalifah Umar, supremasi Islam benar-benar berkibar dalam berbagai bidang. Keadilan benar-benar dirasakan oleh seluruh warga masyarakat. Ekspansi wilayah juga melebar ke berbagai penjuru dunia hingga umat Islam benar-benar menjadi bangsa yang unggul diantara bangsa-bangsa lain saat itu. Oleh karena itu, perpecahan politik yang dahulu bersemai nyaris tak terdengar lagi. Namun, pada akhirnya Khalifah Umat terbunuh pada 23 H, dan menyimpan banyak misteri politis. Sejumlah sejarawan ingin mengungkap masalah dibalik pembunuhan tersebut. Sebagian menyebutkan, ini karena permainan orang-orang munafik yang merasa takut akan kebijakan tegas Umar. Ada pula yang menyebutkan soal kontribusi laskar-laskar bentukan kelompok Bani Umayyah yang menginginkan tampuk kekuasaan pasca –Umar.

Proses suksesi untuk posisi khalifah berikutnya dilaksanakan melalui tim formatur. Ada enam orang yang ditunjuk Umar dalam tim tersebut : Ali ibn Abi Thalib, Usman ibn Affan, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abu Waqas, Zubair ibn Al-Awwam, dan Thalhah ibn Ubaidillah. Sedangkan Abdullah ibn Umar hanyalah memiliki hak pilih. Setelah melalui musyawarah yang cukup alot, formatur akhirnya menetapkan dua orang kandidat : Ali ibn Abi Thalib dan Usman ibn Affan. Kemudian berkat lobi Abdurrahman ibn Auf (ketua tim), pilihan akhirnya jatuh kepada Usman ibn Affan sebagai khalifah ke-3. Soalnya, Abdurrahman ibn Auf masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Usman (Bani Umayyah).

Dengan demikian, sungguhpun pemilihan khalifah ke-3 mengalami kemajuan beberapa langkah, satu hal yang patut dicatat adalah bahwa prosesi pemilihan tersebut mulai menyemai unsur tribalisme (kesukuan) dalam kepentingan politik. Faktor semacam ini jelas sangat manusiawi dan ditoleransi dalam format demokrasi. Namun harus diakui bahwa kejadian tersebut memberikan indikasi semakin menguatnya suhu politik umat Islam dari hari ke hari. Ini sangat terasa pada enam tahun terakhir masa pemerintahannya. Usman ibn Affan sudah lemah dalam memimpin, dan usianya pun sudah lanjut. Bahkan pemerintahannya sudah dikendalikan oleh Marwan ibn Al-Hakam, sekretaris khalifah saat itu, yang coraknya lebih condong ke nepotisme. Pada saat itu, nepotisme dan kesenjangan penguasa dengan rakyat menyulut “bom waktu” bagi meletusnya gejolak sosial, gejolak sosial akhirnya memuncak pada aksi demonstrasi besar-besaran dari kawasan Mesir, Kufah, Bashrah, dan Makkah untuk menuntut penyelesaian atas berbagai ketimpangan sosial yang terjadi, hingga akhirnya Khalifah Usman terbunuh di tengah para demonstran pada tahun 35 H.

Suasana vakum kekhilafahan menyebabkan massa segera menentukan pilihan mereka melalui bai’at langsung kepada Ali ibn Abi Thalib. Kegeniusan Ali rupanya menggerakkan tekadnya untuk membersihkan semua pejabat struktural yang tidak layak, termasuk Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, Gubernur Syam. Keputusan ini, justru belum memulihkan suasana karena “laskar-laskar” Bani Umayyah yang mendapat fasilitas jabatan pada masa Khalifah Usman semakin merekatkan barisan untuk menentang Khalifah Ali. Mereka menuntut segera diadilinya pembunuh Khalifah Usman. Aksi ini juga dipelopori Aisyah, Zubair, dan Thalhah dari Makkah, Kufah, dan Bashrah. Akhirnya pecahlah perang Jamal antara pasukan Khalifah dan kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair yang berakhir dengan kemenangan pihak Khalifah Ali. Babak berikutnya, pasukan Khalifah Ali harus menghadapi pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Perang ini sebenarnya hampir dimenangkan oleh pihak Ali. Namun, karena kecerdikan Mu’awiyah yang dimotori oleh Amr ibn Ash, akhirnya perang itu berakhir dengan tahkim atau arbitrase (mengambil keputusan sesudah mendengar kedua belah pihak) yang berujung pada peristiwa “malapetaka nan dahsyat” Al Fitnah Al Kubra (fitnah besar) yang menggoreskan lembaran hitam dalam tarikh Islam.

Di tengah huru-hara politik yang memorak-porandakan persatuan umat Islam tersebut, reaksi kaum Muslim sangat beragam. Faksi-faksi yang bertikai saat itu memberikan angin segar bagi lahirnya banyak partai politik (al-hidzb, firqah). Mula-mula mereka kecewa pada sikap Khalifah Ali yang tidak melanjutkan peperangan serta menerima arbitrase atau tahkim. Mereka kemudian bereaksi keras, memisahkan diri dari Ali. Sehingga mereka kemudian dikenal dengan nama “Khawarij”. Sementara para pendukung setia Khalifah Ali (kelompok tasyayyu’) memproklamasikan diri mereka sebagai kelompok Syi’ah.

Perkembangan berikutnya, masing-masing firqah dan kelompok merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk melegitimasi eksistensinya sendiri-sendiri.Oleh karena itu, persoalannya sudah melebar ke wilayah teologi (tauhid). Khawarij secara ekstrem mengkafirkan semua orang yang terlibat dalam tahkim atau arbitrase, termasuk Khalifah Ali, Mu’awiyah, dan Amr ibn ‘Ash. Jargon yang mereka dengung-dengungkan adalah la hukma ilallah : hak tahkim itu hanyalah ditangan Allah. Mereka juga menyandarkan pada kaidah iman yang diyakininya, yakni bahwa iman itu harus tashdiq bi-l-qalb, wa- iqrar bi-l-lisan, wal-‘amal bi-l- jawarih (membenarkan dengan hati, mengakui dengan lisan, dan mengamalkannya dengan laku fisik). Orang yang nyata-nyata berbuat maksiat (termasuk pelaku tahkim) berarti keluar dari koridor keimanan.

Perang urat saraf yang dibungkus akidah ini kemudian menjadi semakin seru dan memanas karena mereka yang dianggap kafir oleh Khawarij merasa berkepentingan untuk membuktikan kebenarannya. Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, yang diuntungkan situasi berkat trik-trik politiknya sehingga melenggang di tampuk kepemimpinan (Dinasti Umayyah), segera memberikan reaksi atas sikap Khawarij, guna melanggengkan status quo serta meyakinkan keabsahan dinastinya. Dikembangkanlah paham Jabariyyah (yang fatalistik), yang di dalamnya semua yang terjadi-baik atau buruk, manis atau getir-sudah menjadi qadha dan qadar (takdir dan ketetapan) Allah Swt. Dan, Mu’awiyah pun mendukung paham teologis seperti ini.
“Laulam Yarani Rabbi Anni Ahlun Lihadzal Amri Ma Tarakani Wa Iyyah, Walau Karihallahu Ma Nahnu Fihi Laghayyarah”
(Seandainya Tuhanku tidak melihat diriku mampu untuk memegang tampuk pemerintahan ini, tentu Dia tidak akan membiarkanku memegang tampuk kekuasaan itu. Seandainya Dia tidak menyukainya, tentu Dia akan mengubahnya), demikian penegasan Mu’awiyah.

Dan, ini rupanya sangat manjur untuk menenangkan umat Islam. Dan hampir semua orang saat itu menerima paham tersebut. Satu-satunya komunitas yang menentang sikap fatalis tersebut adalah jama’ah Muhammad ibn Ali Al-Hanafiyyah (w. 81 H), salah seorang putra Ali dari istri kedua yang secara politis mendukung Syi’ah. Melalui majlis ta’lim yang digelar di Masjid Nabawi, Muhammad ibn Ali Al-Hanafiyyah justru mengembangkan paham “qadariyyah”. Menurut paham ini, “Af’alul Ibad Minal Ibad”, yakni bahwa semua tingkah laku manusia itu berasal dan menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena itu Mu’awiyah tidak bisa mengelak dari tipu daya kekuasaannya sendiri. Komunitas di Masjid Nabawi ini sering disebut al-Qadariyah al-Ula, sebagai embrio berdirinya Mu’tazilah, karena Washil ibn ‘Atha’ (w. 131 H), pendiri Mu”tazilah merupakan seorang murid Muhammad ibn Ali Al-Hanafiyyah.

Reaksi lain atas sikap Khawarij datang dari cucu Ali, Abu Hasyim Hasan ibn Muhammad Al-Hanafiyyah yang menentang paham penguasa ini dalam kitabnya Al-‘irja’. Baginya, pelaku dosa besar tidaklah kafir dan tidak pula mempengaruhi keimanan seseorang. Mereka masih mengharapkan (‘irja’) maghfirah atau ampunan dari Allah Swt. Oleh karena itu, paham ini sering disebut Murji’ah. Paham ini kemudian diteruskan oleh murid-murid Hasan seperti Ghailan ibn Ad-Dimasyqi dan Imam Abu Hanifah.

Di tengah-tengah “perang urat saraf” antara berbagai paham dalam bidang akidah yang berakar pada persoalan politik, muncullah pemikiran sebagian generasi tabi’in yang membawa pendapat-pendapat sejuk, moderat, tawazun, dan i’tidal. Gerakan yang bersifat kultural ini dipelopori Hasan ibn Yasar Al-Bashri (w. 110 H), Abu Sufyan Ats-Tsauri, Fudlail ibn Iyadl, Abu Hanifah. Mereka menyikapi situasi saat itu dengan memilih tindakan yang menyejukkan, yakni dengan memancangkan suatu doktrin bahwa satu satunya cara untuk bisa tetap berada di jalan yang lurus adalah dengan “Ruju’ Ilal Qur’an” kembali kepada Al Qur’an. Mereka lebih memilih menarik jarak dari segenap krisis politik saat itu dan kembali kepada Al Qur’an untuk mencari kebenaran. Komunitas ini nantinya disebut paham Ahlussunnah (atau Sunni), Komunitas Hasan Al-Basri inilah yang sebenarnya merupakan “Wadli’ Al Awwal” peletak dasar paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Baru kemudian pemikirannya diteruskan oleh Abdullah ibn Kullab (w. 255 H), Harist ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H) dan Abu Bakar Al Qalanisi.

Setelah Bani Umayyah berkuasa selama 90 tahun lebih, kekuasaan pemerintahan kemudian berpindah kepada Bani Abbasiyah. Pada masa ini golongan Mu’tazilah yang rasionalis mendapat angina segar. Akal bagi golongan ini menempati posisi yang terhormat setara bahkan melebihi dalil dalil naqli (teks dari Al Qur’an dan Al Hadist). Golongan Mu’tazilah dengan kebebasan rasionya berlahan lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat islam dan mencapai puncaknya pada masa Khilafah Al Ma’mun (198 – 218 H / 813 – 833 M) Al Mu’tashim (218 – 228 H / 833 – 842 M) Al Watsiq ( 228 – 233 H / 842 – 847 M) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara yang dilindungi oleh pemerintah

Dalam penyebaran faham Mu’tazilah ini , terjadi suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah umat islam dan hususnya Mu’tazilah sendiri. Khalifah Al Ma’mun dalam upayanya menanamkan pengaruh Mu’tazilah, melakukan pemaksaan kepada seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan juga kepada seluruh masyarakat islam. Dalam hal ini, banyak ulama’ yang menjadi panutan masyarakat menjadi korban penganiayaan, misalnya imam Ahmad ibn Hambal, Muhammad ibn Nuh dan lain lain yang tidak mau mengubah pendiriannya untuk mengatakan antara lain, “bahwa Al Quran itu mahluk” seperti yang diyakini Mu’tazilah, maka mereka dianiaya dan dipenjarakan.

Ketegaran dan ketegasan mereka dalam mempertahankan keyakinan/akidah Ahlussunnah wal jamaah, serta adanya keresahan dan kegoncangan kaum muslimin yang pada waktu itu sudah bosan menghadapi pemaksaan aqidah dan mendengarkan perbedaan dan pertentangan pertentangan yang dibuat Mu’tazilah, mendapatkan simpati luas dari masyarakat, dan sekaligus menanamkan kebencian dan antipati terhadap Mu’tazilah dan kekuasaan yang mendukungnya.

Maka ketika Al Mutawakkil (233 – 247 H / 847 – 861 H) menjadi Khalifah menggantikan Al Watsiq, dia melihat bahwa posisinya sebagai Khalifah perlu mendapat dukungan mayoritas dari masyarakat. Sementara itu kelompok mayoritas islam, setelah kasus Mihnah (ujian aqidah) adalah pengikut imam Ahmad ibn Hambal, Oleh sebab itu pada masa khilafahnya Al Mutawakkil menghapus aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara/pemerintah.

Di samping itu bagi masyarakat awam, sebenarnya sulit menerima doktrin Mu’tazilah yang rasional-filosofis, mereka lebih suka ajaran-ajaran yang sifatnya sederhana dan tidak berlebih-lebihan yang sejalan dengan sunnah nabi dan tradisi para sahabatnya. Dalam keadaan yang demikian itu, muncullah tokoh intelektual dan ulama’ islam Abu Hasan Al Asy’ari (w. 324 H / 936 M) dengan ajaran aqidah (teologi) Ahlussunnah Waljamaah yang berusaha mengakomodasi (menampung) aspirasi masyarakat sesuai tingkat pemikiran, dengan tetap menjaga kemurnian ajaran islam yang sesuai sunnah Nabi dan tradisi para sahabatnya. Ajaran atau doktrin teologi Asy’ari ini kemudian dikembangkan secara dinamik oleh murid-murid dan ulama-ulama pengikutnya, seperti Abu Hasan Al Bahili, Abu Bakar Al Baqilani, Abdul Ma’ali Al Juwaini (Imam Haramain), Abu Hamid Muhammad Al Ghozali, Muhammad ibn Yusuf Assanusi, Abu Mansur Al Maturididan lain-lain.

Klaim NU sebagai pengusung tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah yang secara otomatis menjadi bagian dari peradaban islam dunia didukung oleh fakta-fakta histories. Syaikh Ahmad Khotib Assambasy (1803 – 1875 M), misalnya, ulama terkemuka yang lahir di Sambas, Kalimantan Barat, sejak mudanya sudah menunjukkan semangat menggebu gebu untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman, sengga beliau berketetapan hati bermukim lebih lama di makkah Al Mukarramah. Syaikh Ahmad Khotib Assambasy muncul sebagai tokoh sufi dan perintis kombinasi autentik dua tarekat besar “Qadiriyah wan-Naqsabandiyah”. Karyanya kitab Fathul Arifin, menunjukkan integritas keilmuan Syaikh Ahmad Khotib Assambasy di lingkungan masyarakat islam.

Pelanjut tradisi Aswaja kemudian adalah ulama besar Syaikh Nawawi Banten (1813 – 1897 M). beliau adalah ulama yang telah mencapai derajat “Mujtahid Madzhab” dibidang Fiqh. Beliau telah menulis lebih dari seratus kitab keagamaan yang hingga kini masih di gunakan di lingkungan pesantren di Nusantara dan negeri islam lainnya. Diantara karya besarnya adalah kitab Kasyifatussaja, Ta’lim Al Muta’allim, dan lain-lain. Penerus Aswaja berikutnya adalah Syaikh Mahfudz Termas (w. 1919 M) Ahli hadist ini merupakan penerus tradisi pemikiran Syaikh Ahmad Khotib Assambasy dan Syaikh Nawawi Banten. Kitab Manhaj Dzawi An-Nadzar, sebuah kitab metodologi autentisitas hadis yang hingga kini masih di ajarkan di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Selain Syaikh Mahfudz Termas, ulama tersohor lainnya yang meneruskan tradisi Aswaja adalah Syaikh Khalil Bangkalan (1819 – 1925 M). Beliau adalah ahli Gramatika Arab/Nahwu dan sharaf, dan beliau juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari Jombang. Periode selanjutnya Penerus Aswaja adalah Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan (1901 – 1952 M), ulama asal kediri yang intens mendalami tashawuf. Beliau mengarang kitab Sirajut Thalibin, sebuah komentar cukup luas atas kitab Manhajul Abidin karya Al Ghozali. Kitab ini menjadi kajian penting di beberapa Negara berpenduduk muslim.

Deretan ulama tadi adalah generasi awal yang berjasa dalam meletakkan landasan corak keagamaan Nahdlatul Ulama. Khazanah itulah yang dikenal dengan Ahlussunnah Waljamaah atau Aswaja. Seperti dikemukakan tadi, faham ini awalnya ditata oleh Imam Hasan Al Bashri sebagai generasi tabi’in pasca Rasulullah Saw, yang bersikap moderat ditengah kerisis berkepanjangan yang menimpa umat islam akibat Alfitnah Al Kubra. Satu abad kemudian, muncul Al Muhasibi, Al Qolanisi, dan ibn Kullab yang membangun dasar dasar wacana berpikir umat islam dalam memasuki abad ke 3 Hijriyah.

Langkah tersebut diteruskan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi, hingga Imam Abu Hamid Al Ghazali, lalu dikembangkan di Indonesia pada awal abad ke 19 M, melalui wadah Jam’iyah Nahdlatil Ulama. Silsilah generasi pasca Imam Al Ghazali berkesinambungan – dalam bentuk silsilah atau sanad – hingga ke pendiri NU , Kh. Hasyim Asy’ari, melalui Imam Abdul Karim Assyahrastani, Imam Ar Razi, Al Iji, As Sanusi, Al Bajuri, Addasuki, Syaikh Zaini Dahlan, Syaikh Mahfudz Termas, terus ke K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.

0 Responses

Terimakasih atas kunjungannya dan jangan lupa tulis komentar anda.......

    Menu

    BUKA | TUTUP

    NU Kayong Utara

    Chat


    ShoutMix chat widget

    Download Kitab

    Ebook Islam

    Kitab Klasik