MERENUNGI PESAN ISRA MI’RAJ

Satu peristiwa maha dahsyat pada dua puluh tujuh Rajab empat belas abad silam, menjadi misteri yang tak terpecahkan oleh akal pikir manusia bahkan dengan “ kekuatan” sains dan teknologi termutakhir sekalipun. Temuan teknologi dengan seabrek teorinya hanya sedikit memberikan pencerahan untuk sekelumit pemahaman kekuasaanNya, namun tidak juga dapat menembus jagad yang telah dilalui Nabi dalam mi’rajnya. Bahkan Jibril sang malaikatpun tidak berhak untuk memasukinya . Subhanallah!
Isra Mi’raj adalah bagian dari keimanan, maka di saat Rasulullah saw melakukukannya, menyuburkan benih keraguan di hati orang-orang yang memang masih lemah keimananya. Karena hal tersebut dianggap bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bagaimana seseorang bisa berangkat dari satu tempat ke tempat lain yang demikian jauh dalam waktu yang sangat singkat?Apalagi naik sampai ke Sidratul Muntaha? Ilmu pengetahuan saja tidak mampu menjawab hal ini. Maka jika dipaksakan untuk rasionalisasi sains dan ilmu pengetahuan, justru akan menghasilkan jawaban yang mengada-ada, meski dilakukan ilmuan muslim sekalipun. Karena -sekali lagi- hal itu bagian dari keimanan. Isra’ dan Mi’raj merupakan sebuah peristiwa yang menjadi mukjizat agung Rasulullah
sekaligus bukti atas kebesaran Allah SWT.
Hal yang amat penting untuk dijadikan perenungan di tengah gelombang kerunyaman yang semakin dahsyat adalah berbagai fenomena dari peristiwa mengerikan yang dijumpai Nabi saw dalam isra mi’rajnya, seperti bibir dan lidah yang terus tergunting sebagai balasan bagi mereka yang suka menebar fitnah. Wajah dan dada yang terus tercakar sebagai gambaran siksa yang akan dialami mereka yang suka menindas. Orang-orang yang berenang di sungai darah dan terus dilempari batu sebagai gambaran azab untuk mereka yang gemar makan barang riba atau korupsi.
Di tengah arus hidup yang semakin hari semakin runyam,dimana kebanyakan orang tidak pernah kapok untuk terus membinalkan nafsu mereka, kebanyakanorang tak pernah jera untuk terus berkiblat pada tumpukan benda-benda, kebanyakan orang semakin tidak risih lagi untuk terus mengikis hidup mereka yang semula fitrah, kebanyakan orang telah sering mengobral dalil al qur’an untuk kepentingan pendapat dan pendapatannya, maka di sinilah urgensitas pesan mi’raj yang berupa shalat lima waktu untuk senantiasa kita sempurnakan. Karena kebersamaan dengan tuhan dalam shalat itulah yang memberikan ketentraman jiwa yang tak dapat digapai pada yang lain. Disamping itu ternyata shalat merupakan barometer dari genahnya amal-amal yang lain./Buya Nabil Selengkapnya...

BUDIDAYA WALET

1. SEJARAH SINGKAT
Burung Walet merupakan burung pemakan serangga yang bersifat aerial dan suka meluncur. Burung ini berwarna gelap, terbangnya cepat dengan ukuran tubuh sedang/kecil, dan memiliki sayap berbentuk sabit yang sempit dan runcing, kakinya sangat kecil begitu juga paruhnya dan jenis burung ini tidak pernah hinggap di pohon. Burung walet mempunyai kebiasaan berdiam di gua-gua atau rumah-rumah yang cukup lembab, remang-remang sampai gelap dan menggunakan langit- langit untuk menempelkan sarang sebagai tempat beristirahat dan berbiak.
2. SENTRA PERIKANAN
Sentra Peternakan burung puyuh banyak terdapat di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah
3. JENIS
Klasifikasi burung walet adalah sebagai berikut:
Superorder : Apomorphae
Order : Apodiformes
Family : Apodidae
Sub Family : Apodenae
Tribes :Collacaliini
Genera : Collacalia
Species : Collacaliafuciphaga

4. MANFAAT

Hasil dari peternakan walet ini adalah sarangnya yang terbuat dari air liurnya (saliva). Sarang walet ini selain mempunyai harga yang tinggi, juga dapat bermanfaat bagi duni kesehatan. Sarang walet berguna untuk menyembuhkan paru-paru, panas dalam, melancarkan peredaran darah dan penambah tenaga.
5. PERSYARATAN LOKASI
Persyaratan lingkungan lokasi kandang adalah:
1) Dataran rendah dengan ketinggian maksimum 1000 m dpl.
2) Daerah yang jauh dari jangkauan pengaruh kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat.
3) Daerah yang jauh dari gangguan burung-burung buas pemakan daging.
4) Persawahan, padang rumput, hutan-hutan terbuka, pantai, danau, sungai, rawa-rawa
merupakan daerah yang paling tepat.

6. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA

 PENYIAPAN SARANA DAN PERALATAN
Suhu, Kelembaban dan Penerangan Gedung untuk kandang walet harus memiliki suhu, kelembaban dan penerangan yang mirip dengan gua-gua alami. Suhu gua alami berkisar antara 24-26 derajat C dan kelembaban ± 80-95 %.

Pengaturan kondisi suhu dan kelembaban dilakukan dengan:

a. Melapisi plafon dengan sekam setebal 20 cm
b. Membuat saluran-saluran air atau kolam dalam gedung.
c. Menggunakan ventilasi dari pipa bentuk “L” yang berjaraknya 5 m satu lubang, berdiameter 4
cm.
d. Menutup rapat pintu, jendela dan lubang yang tidak terpakai.
e. Pada lubang keluar masuk diberi penangkal sinar yang berbentuk corong dari goni atau kain
berwarna hitam sehingga keadaan dalam gedung akan lebih gelap. Suasana gelap lebih
disenangi walet.

Bentuk dan Konstruksi Gedung
Umumnya, rumah walet seperti bangunan gedung besar, luasnya bervariasi dari 10x15 m sampai 10x20 m . Makin tinggi wuwungan (bubungan) dan semakin besar jarak antara wuwungan dan plafon, makin baik rumah walet dan lebih disukai burung walet. Rumah tidak boleh tertutup oleh pepohonan tinggi. Tembok gedung dibuat dari dinding berplester sedangkan bagian luar dari campuran semen. Bagian dalam tembok sebaiknya dibuat dari campuran pasir, kapur dan semen dengan perbandingan 3:2:1 yang sangat baik untuk mengendalikan suhu dan kelembaban udara. Untuk mengurangi bau semen dapat disirami air setiap hari. Kerangka atap dan sekat tempat melekatnya sarang-sarang dibuat dari kayu- kayu yang kuat, tua dan tahan lama, awet, tidak mudah dimakan rengat. Atapnya terbuat dari genting. Gedung walet perlu dilengkapi dengan roving room sebagai tempat berputar- putar dan resting room sebagai tempat untuk beristirahat dan bersarang. Lubang tempat keluar masuk burung berukuran 20x20 atau 20x35 cm dibuat di bagian atas. Jumlah lubang tergantung pada kebutuhan dan kondisi gedung. Letaknya lubang jangan menghadap ke timur dan dinding lubang dicat hitam.
 PEMBIBITAN
Umumnya para peternak burung walet melakukan dengan tidak sengaja. Banyaknya burung walet yang mengitari bangunan rumah dimanfaatkan oleh para peternak tersebut. Untuk memancing burung agar lebih banyak lagi, pemilik rumah menyiapkan tape recorder yang berisi rekaman suara burung Walet. Ada juga yang melakukan penumpukan jerami yang menghasilkan serangga-serangga kecil sebagai bahan makanan burung walet.
1) Pemilihan Bibit dan Calon Induk Sebagai induk walet dipilih burung sriti yang diusahakan agar mau bersarang di dalam gedung baru. Cara untuk memancing burung sriti agar masuk dalam gedung baru tersebut dengan menggunakan kaset rekaman dari wuara walet atau sriti. Pemutaran ini dilakukan pada jam 16.00–18.00, yaitu waktu burung kembali mencari makan.
2) Perawatan Bibit dan Calon Induk Di dalam usaha budidaya walet, perlu disiapkan telur walet untuk ditetaskan pada sarang burung sriti. Telur dapat diperoleh dari pemilik gedung walet yang sedang melakukan “panen cara buang telur”. Panen ini dilaksanakan setelah burung walet membuat sarang dan bertelur dua butir. Telur walet diambil dan dibuang kemudian sarangnya diambil. Telur yang dibuang dalam panen ini dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak populasi burung walet dengan menetaskannya di dalam sarang sriti.
a. Memilih Telur Walet Telur yang dipanen terdiri dari 3 macam warna, yaitu :
-Merah muda, telur yang baru keluar dari kloaka induk berumur 0–5 hari.
-Putih kemerahan, berumur 6–10 hari.
-Putih pekat kehitaman, mendekati waktu menetas berumur 10–15 hari.

Telur walet berbentuk bulat panjang, ukuran 2,014x1,353 cm dengan berat 1,97 gram. Ciri telur yang baik harus kelihatan segar dan tidak boleh menginap kecuali dalam mesin tetas. Telur tetas yang baik mempunyai kantung udara yang relatif kecil. Stabil dan tidak bergeser dari tempatnya. Letak kuning telur harus ada ditengah dan tidak bergerak-gerak, tidak ditemukan bintik darah. Penentuan kualitas telur di atas dilakukan dengan peneropongan.

b. Membawa Telur Walet
Telur yang didapat dari tempat yang jaraknya dekat dapat berupa telur yang masih muda atau setengah tua. Sedangkan telur dari jarak jauh, sebaiknya berupa telur yang sudah mendekati menetas. Telur disusun dalam spon yang berlubang dengan diameter 1 cm. Spon dimasukkan ke dalam keranjang plastik berlubang kemudian ditutup. Guncangan kendaraan dan AC yang terlalu dingin dapat mengakibatkan telur mati. Telur muda memiliki angka kematian hampir 80% sedangkan telur tua lebih rendah.
3) Penetasan Telur Walet
a. Cara menetaskan telur walet pada sarang sriti. Pada saat musim bertelur burung sriti tiba, telur sriti diganti dengan telur walet. Pengambilan telur harus dengan sendok plastik atau kertas tisue untuk menghindari kerusakan dan pencemaran telur yang dapat menyebabkan burung sriti tidak mau mengeraminya. Penggantian telur dilakukan pada siang hari saat burung sriti keluar gedung mencari makan. Selanjutnya telur-telur walet tersebut akan dierami oleh burung sriti dan setelah menetas akan diasuh sampai burung walet dapat terbang serta mencari makan.
b. Menetaskan telur walet pada mesin penetas Suhu mesin penetas sekitar 40 C dengan kelembaban 70%. Untuk memperoleh kelembaban tersebut dilakukan dengan menempatkan piring atau cawan berisi air di bagian bawah rak telur. Diusahakan agar air didalam cawan tersebut tidak habis. Telur-telur dimasukan ke dalam rak telur secara merata atau mendata dan jangan tumpang tindih. Dua kali sehari posisi telur-telur dibalik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan embrio. Di hari ketiga dilakukan peneropongan telur. Telur-telur yang kosong dan yang embrionya mati dibuang. Embrio mati tandanya dapat terlihat pada bagian tengah telur terdapat lingkaran darah yang gelap. Sedangkan telur yang embrionya hidup akan terlihat seperti sarang laba-laba. Pembalikan telur dilakukan sampai hari ke-12. Selama penetasan mesin tidak boleh dibuka kecuali untuk keperluan pembalikan atau mengisi cawan pengatur kelembaban. Setelah 13–15 hari telur akan menetas.
 PEMELIHARAAN
1) Perawatan Ternak Anak burung walet yang baru menetas tidak berbulu dan sangat lemah. Anak walet yang belum mampu makan sendir perlu disuapi dengan telur semut (kroto segar) tiga kali sehari. Selama 2–3 hari anak walet ini masih memerlukan pemanasan yang stabil dan intensif sehingga tidak perlu dikeluarkan dari mesin tetas. Setelah itu, temperatur boleh diturunkan 1–2 derajat/hari dengan cara membuka lubang udara mesin. Setelah berumur ± 10 hari saat bulu-bulu sudah tumbuh anak walet dipindahkan ke dalam kotak khusus. Kotak ini dilengkapi dengan alat pemanas yang diletakan ditengah atau pojok kotak. Setelah berumur 43 hari, anak-anak walet yang sudah siap terbang dibawa ke gedung pada malam hari, kemudian dletakan dalam rak untuk pelepasan. Tinggi rak minimal 2 m dari lantai. Dengan ketinggian ini, anak waket akan dapat terbang pada keesokan harinya dan mengikuti cara terbang walet dewasa.
2) Sumber Pakan Burung walet merupakan burung liar yang mencari makan sendiri. Makanannya adalah serangga-serangga kecil yang ada di daerah pesawahan, tanah terbuka, hutan dan pantai/ perairan. Untuk mendapatkan sarang walet yang memuaskan, pengelola rumah walet harus menyediakanmakanan tambahan terutama untuk musim kemarau. Beberapa cara untuk mengasilkan serangga adalah:
a. menanam tanaman dengan tumpang sari.
b. budidaya serangga yaitu kutu gaplek dan nyamuk.
c. membuat kolam dipekarangan rumah walet.
d. menumpuk buah-buah busuk di pekarangan rumah.

3) Pemeliharaan Kandang Apabila gedung sudah lama dihuni oleh walet, kotoran yang menumpuk di lantai harus dibersihkan. Kotoran ini tidak dibuang tetapi dimasukan dalam karung dan disimpan di gedung.
7. HAMA DAN PENYAKIT
1) Tikus
Hama ini memakan telur, anak burung walet bahkan sarangnya. Tikus mendatangkan suara gaduh dan kotoran serta air kencingnya dapat menyebabkan suhu yang tidak nyaman. Cara pencegahan tikus dengan menutup semua lubang, tidak menimbun barang bekas dan kayu-kayu yang akan digunakan untuk sarang tikus.
2) Semut
Semut api dan semut gatal memakan anak walet dan mengganggu burung walet yang sedang bertelur. Cara pemberantasan dengan memberi umpan agar semut-semut yang ada di luar sarang mengerumuninya. Setelah itu semut disiram dengan air panas.
3) Kecoa
Binatang ini memakan sarang burung sehingga tubuhnya cacat, kecil dan tidak sempurna. Cara pemberantasan dengan menyemprot insektisida, menjaga kebersihan dan membuang barang yang tidak diperlukan dibuang agar tidak menjadi tempat persembunyian.
4) Cicak dan Tokek
Binatang ini memakan telur dan sarang walet. Tokek dapat memakan anak burung walet. Kotorannya dapat mencemari raungan dan suhu yang ditimbulkan mengganggu ketenangan burung walet. Cara pemberantasan dengan diusir, ditangkap sedangkan penanggulangan dengan membuat saluran air di sekitar pagar untuk penghalang, tembok bagian luar dibuat licin dan dicat dan lubang-lubang yang tidak digunakan ditutup.

8. PANEN
Sarang burung walet dapat diambil atau dipanen apabila keadaannya sudah memungkinkan untuk dipetik. Untuk melakukan pemetikan perlu cara dan ketentuan tertentu agar hasil yang diperoleh bisa memenuhi mutu sarang walet yang baik. Jika terjadi kesalahan dalam menanen akan berakibat fatal bagi gedung dan burung walet itu sendiri. Ada kemungkinan burung walet merasa tergangggu dan pindah tempat. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, para pemilik gedung perlu mengetahui teknik atau pola dan waktu pemanenan. Pola panen sarang burung dapat dilakukan oleh pengelola gedung walet dengan beberapa cara, yaitu:
1) Panen rampasan
Cara ini dilaksanakan setelah sarang siap dipakai untuk bertelur, tetapi pasangan walet itu belum sempat bertelur. Cara ini mempunyai keuntungan yaitu jarak waktu panen cepat, kualitas sarang burung bagus dan total produksi sarang burung pertahun lebih banyak. Kelemahan cara ini tidak baik dalam pelestaraian burung walrt karena tidak ada peremajaan. Kondisinya lemah karena dipicu untuk terus menerus membuat sarang sehingga tidak ada waktu istirahat. Kualitas sarangnya pun merosot menjadi kecil dan tipis karena produksi air liur tidak mampu mengimbangi pemacuan waktu untuk membuat sarang dan bertelur.
2) Panen Buang Telur
Cara ini dilaksanankan setelah burung membuat sarang dan bertelur dua butir. Telur diambil dan dibuang kemudian sarangnya diambil. Pola ini mempunyai keuntungan yaitu dalam setahun dapat dilakukan panen hingga 4 kali dan mutu sarang yang dihasilkan pun baik karena sempurna dan tebal. Adapun kelemahannya yakni, tidak ada kesempatan bagi walet untuk menetaskan telurnya.
3) Panen Penetasan
Pada pola ini sarang dapat dipanen ketika anak-anak walet menetas dan sudah bisa terbang. Kelemahan pola ini, mutu sarang rendah karena sudah mulai rusak dan dicemari oleh kotorannya. Sedangkan keuntungannya adalah burung walet dapat berkembang biak dengan tenang dan aman sehingga polulasi burung dapat meningkat.
Adapun waktu panen adalah:
1) Panen 4 kali setahun
Panen ini dilakukan apabila walet sudah kerasan dengan rumah yang dihuni dan telah padat populasinya. Cara yang dipakai yaitu panen pertama dilakukan dengan pola panen rampasan. Sedangkan untuk panen selanjutnya dengan pola buang telur.
2) Panen 3 kali setahun
Frekuensi panen ini sangat baik untuk gedung walet yang sudah berjalan dan masih memerlukan penambahan populasi. Cara yang dipakai yaitu, panen tetasan untuk panen pertama dan selanjutnya dengan pola rampasan dan buang telur.
3) Panen 2 kali setahun
Cara panen ini dilakukan pada awal pengelolaan, karena tujuannya untuk memperbanyak populasi burung walet.
9. PASCA PANEN
Setelah hasil panen walet dikumpulkan dalu dilakukan pembersihan dan penyortiran dari hasil yang didapat. Hasil panen dibersihkan dari kotoran- kotoran yang menempel yang kemudian dilakukan pemisahan antara sarang walet yang bersih dengan yang kotor.
10. GAMBARAN PELUANG AGRIBISNIS
Sarang burung walet merupakan komoditi ekspor yang bernilai tinggi. Kebutuhan akan sarang burung walet di pasar internasional sangat besar dan masih kekurangan persediaan. Hal ini disebabkan oleh masih kurang banyaknya budidaya burung walet. Selain itu juga produksi sarang walet yang telah ada merupakan produksi dari sarang-sarang alami. Budidaya sarang burung walet sangat menjanjikan bila dikelola dengan baik dan intensif.
11. KONTAK HUBUNGAN
1) Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan
2) Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi
Sumber:Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas
Editor: Kemal Prihatman Selengkapnya...

KONFERCAB I PCNU KAYONG UTARA

Konfercab I PCNU Kayong Utara

Alhamdulillah pada hari Jum’at 05 Juni 2009 PCNU Kabupaten Kayong Utara terbentuk dan pada acara Konfrensi yang pertama PCNU KKU ini dihadiri oleh Ketua Tanfidziyah PWNU Kalimantan Barat, M.Zet Hamdi Asshavie. Dalam sambutannya M.Zet Hamdi mengatakan bahwa ancaman terbesar umat islam saat ini adalah Liberalisme Barat dan Konserfativisme timur, maka diharapkan NU dapat menjadi benteng umat, jangan sampai dua aliran ini berkembang hususnya di kabupaten Kayong Utara ini, karena menurutnya kedua aliran ini dapat merusak dan memecah belah bangsa juga menjadi ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dan pada acara Konfrensi tersebut Ust. Hamid Burhan dipilih secara aklamasi menjadi Ketua Suriyah dan Najril Hijar,S.Ag.menjadi ketua Tanfidziyah masa bakti 2009 – 2014. para peserta Konfrensi dari lima Kecamatan yang ada di Kayong Utara memandang keduanya pantas dan layak untuk memimpin NU lima tahun kedepan. Dalam sambutannya Najril Hijar,S.Ag, ketua Tanfidziyah terpilih mengatakan tugas dan kegiatan PCNU lima tahun kedepan sangat berat mengingat minimnya sosialisasi ke-NU-an di wilayah Kabupaten Kayong Utara meskipun secara cultural sembilan puluh persen umat islam di KKU adalah NU dalam arti Jamaah bukan Jam’iyah. Dan menurut beliau untuk mempermudah komunikasi sesama warga Nahdliyin,maka dalam dua tahun pertama ini PCNU Kayong Utara harus sudah memiliki kantor di sukadana, ibu kota Kabupaten Kayong Utara.

Dan dalam kesempatan ini juga PCNU Kayong Utara menyusun buku ke-NU-an yang dibagikan secara gratis kepada peserta Konfrensi sebagai upaya sosialisasi ke-NU-an. Buku ke-NU-an tersebut diserahkan secara simbolis kepada Bupati Kayong Utara, PLO Kapolres Kayong Utara dan kepada Ketua Wilayah PWNU Kalimantan Barat. Selengkapnya...

Sejarah Ahlussunnah Waljama'ah

Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU)
Teluk Batang

Sepeninggal Nabi Muhammad Saw., salah satu persoalan penting yang belum diwasiatkan secara sharih dan tegas adalah masalah “Khilafah”, “jabatan pengganti”, yakni berkaitan dengan eksistensi beliau sebagai seorang pemimpin sebuah organisasi sosial politik di Madinah. Posisi beliau sebagai pembawa risalah ilahiyyah jelas telah ditegaskan beliau dalam berbagai pesannya, dengan sharih beliau berpesan bahwa sepeninggal beliau, ada dua hal yang mampu menyelamatkan umat islam dari bencana dan kesesatan, yakni Al Qur’an dan Sunnah. Pernyataan ini dikuatkan pula dengan wahyu yang terakhir turun, yakni surat Al Ma’idah ayat ke-3.

pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu


Jadi dalam posisi ini, beliau tidak membutuhkan pengganti atau khalifah.

Sedangkan untuk urusan siyasiyah (Politik), secara definitif tidak ada calon pengganti Nabi Muhammad Saw., seperti yang dikenal dengan sebutan “Putra Mahkota”. Masalah ini justru menawarkan angin segar bagi terciptanya pola kepemimpinan kolektif pasca Rasulullah yang demokratis pada saat bangsa bangsa lain di belahan dunia lainnya justru mengembangkan budaya dinastik dan kekuasaan diktator.

Di sisi lain, konsekuensi pola kepemimpinan demokratis yang mentolerir munculnya perbedaan pendapat dari berbagai level dan strata kehidupan, jelas merupakan hal baru bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab. Sebelumnya, fanatisme rasial sangat kental dalam diri mereka. Maka sangat wajar jika baru beberapa saat setelah Nabi Saw. wafat bahkan belum sempat mengurus jenazah Nabi Saw., diantara kaum Muslim sudah berkembang isu suksesi. Dalam situasi duka, para sahabat sudah mengadakan rapat di Saqifah Bani Sa’idah. Pertemuan yang terdiri dari golongan Anshar dari suku Aus dan Khazraj dan Muhajirin itu diwarnai silang pendapat yang mengunggulkan calon masing-masing. “Minna Amir wa Minkum Amir” (Kalian punya pemimpin, kami juga punya pemimpin) adalah ungkapan krusial dari tajamnya perbedaan tersebut. Ketegangan mereka mereda setelah mereka sepakat membai’at Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah.

Keputusan ini bisa dikatakan “lonjong” karena tidak semua kaum Muslim berpartisipasi ataupun menyepakati terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq. Realitas menunjukkan, Ali ibn Abi Thalib dan istrinya, Fatimah binti Rasulullah, serta beberapa sahabat dari keluarga Bani Hasyim, belum menyatakan Bai’at (pernyataan loyalitas) kepada khalifah terpilih. Ali baru menyatakan bai’at enam bulan kemudian setelah Fatimah wafat. Reaksi lain yang lebih ekstrem muncul dari sejumlah suku-suku Arab. Mereka menyatakan menolak dan membangkang pada pemerintahan yang baru. Mereka pun kemudian disebut “murtad”, yang “membangkang” Pada saat itu juga muncul golongan murtad dimana mana, golongan yang menolak menunaikan zakat serta munculnya nabi nabi palsu.. Singkatnya, di sejumlah daerah pinggiran kekuasaan Islam, keresahan semakin marak. Daerah yang masih stabil hanya mencakup sekitar pusat kekuasaan : Madinah, Makkah, dan Tha’if. Alhasil, mulai saat itu, visi siasah umat Islam sudah tidak satu langkah lagi, meski aspek aqidah dan syari’ah masih tetap utuh.

Sungguhpun demikian, situasi kritis ini segera dapat diatasi oleh Khalifah Abu Bakar dalam tempo relatif cepat, hingga kepemimpinannya mendapat pengakuan penuh dari umat sampai wafat pada 13 H. Kesuksesan khalifah pertama ini dibuktikan pula dengan mulusnya suksesi khalifah berikutnya melalui sistem pengangkatan yang diwasiatkan Khalifah Abu Bakar kepada Umar ibn Al-Khatthab.

Semasa Khalifah Umar, supremasi Islam benar-benar berkibar dalam berbagai bidang. Keadilan benar-benar dirasakan oleh seluruh warga masyarakat. Ekspansi wilayah juga melebar ke berbagai penjuru dunia hingga umat Islam benar-benar menjadi bangsa yang unggul diantara bangsa-bangsa lain saat itu. Oleh karena itu, perpecahan politik yang dahulu bersemai nyaris tak terdengar lagi. Namun, pada akhirnya Khalifah Umat terbunuh pada 23 H, dan menyimpan banyak misteri politis. Sejumlah sejarawan ingin mengungkap masalah dibalik pembunuhan tersebut. Sebagian menyebutkan, ini karena permainan orang-orang munafik yang merasa takut akan kebijakan tegas Umar. Ada pula yang menyebutkan soal kontribusi laskar-laskar bentukan kelompok Bani Umayyah yang menginginkan tampuk kekuasaan pasca –Umar.

Proses suksesi untuk posisi khalifah berikutnya dilaksanakan melalui tim formatur. Ada enam orang yang ditunjuk Umar dalam tim tersebut : Ali ibn Abi Thalib, Usman ibn Affan, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abu Waqas, Zubair ibn Al-Awwam, dan Thalhah ibn Ubaidillah. Sedangkan Abdullah ibn Umar hanyalah memiliki hak pilih. Setelah melalui musyawarah yang cukup alot, formatur akhirnya menetapkan dua orang kandidat : Ali ibn Abi Thalib dan Usman ibn Affan. Kemudian berkat lobi Abdurrahman ibn Auf (ketua tim), pilihan akhirnya jatuh kepada Usman ibn Affan sebagai khalifah ke-3. Soalnya, Abdurrahman ibn Auf masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Usman (Bani Umayyah).

Dengan demikian, sungguhpun pemilihan khalifah ke-3 mengalami kemajuan beberapa langkah, satu hal yang patut dicatat adalah bahwa prosesi pemilihan tersebut mulai menyemai unsur tribalisme (kesukuan) dalam kepentingan politik. Faktor semacam ini jelas sangat manusiawi dan ditoleransi dalam format demokrasi. Namun harus diakui bahwa kejadian tersebut memberikan indikasi semakin menguatnya suhu politik umat Islam dari hari ke hari. Ini sangat terasa pada enam tahun terakhir masa pemerintahannya. Usman ibn Affan sudah lemah dalam memimpin, dan usianya pun sudah lanjut. Bahkan pemerintahannya sudah dikendalikan oleh Marwan ibn Al-Hakam, sekretaris khalifah saat itu, yang coraknya lebih condong ke nepotisme. Pada saat itu, nepotisme dan kesenjangan penguasa dengan rakyat menyulut “bom waktu” bagi meletusnya gejolak sosial, gejolak sosial akhirnya memuncak pada aksi demonstrasi besar-besaran dari kawasan Mesir, Kufah, Bashrah, dan Makkah untuk menuntut penyelesaian atas berbagai ketimpangan sosial yang terjadi, hingga akhirnya Khalifah Usman terbunuh di tengah para demonstran pada tahun 35 H.

Suasana vakum kekhilafahan menyebabkan massa segera menentukan pilihan mereka melalui bai’at langsung kepada Ali ibn Abi Thalib. Kegeniusan Ali rupanya menggerakkan tekadnya untuk membersihkan semua pejabat struktural yang tidak layak, termasuk Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, Gubernur Syam. Keputusan ini, justru belum memulihkan suasana karena “laskar-laskar” Bani Umayyah yang mendapat fasilitas jabatan pada masa Khalifah Usman semakin merekatkan barisan untuk menentang Khalifah Ali. Mereka menuntut segera diadilinya pembunuh Khalifah Usman. Aksi ini juga dipelopori Aisyah, Zubair, dan Thalhah dari Makkah, Kufah, dan Bashrah. Akhirnya pecahlah perang Jamal antara pasukan Khalifah dan kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair yang berakhir dengan kemenangan pihak Khalifah Ali. Babak berikutnya, pasukan Khalifah Ali harus menghadapi pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Perang ini sebenarnya hampir dimenangkan oleh pihak Ali. Namun, karena kecerdikan Mu’awiyah yang dimotori oleh Amr ibn Ash, akhirnya perang itu berakhir dengan tahkim atau arbitrase (mengambil keputusan sesudah mendengar kedua belah pihak) yang berujung pada peristiwa “malapetaka nan dahsyat” Al Fitnah Al Kubra (fitnah besar) yang menggoreskan lembaran hitam dalam tarikh Islam.

Di tengah huru-hara politik yang memorak-porandakan persatuan umat Islam tersebut, reaksi kaum Muslim sangat beragam. Faksi-faksi yang bertikai saat itu memberikan angin segar bagi lahirnya banyak partai politik (al-hidzb, firqah). Mula-mula mereka kecewa pada sikap Khalifah Ali yang tidak melanjutkan peperangan serta menerima arbitrase atau tahkim. Mereka kemudian bereaksi keras, memisahkan diri dari Ali. Sehingga mereka kemudian dikenal dengan nama “Khawarij”. Sementara para pendukung setia Khalifah Ali (kelompok tasyayyu’) memproklamasikan diri mereka sebagai kelompok Syi’ah.

Perkembangan berikutnya, masing-masing firqah dan kelompok merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk melegitimasi eksistensinya sendiri-sendiri.Oleh karena itu, persoalannya sudah melebar ke wilayah teologi (tauhid). Khawarij secara ekstrem mengkafirkan semua orang yang terlibat dalam tahkim atau arbitrase, termasuk Khalifah Ali, Mu’awiyah, dan Amr ibn ‘Ash. Jargon yang mereka dengung-dengungkan adalah la hukma ilallah : hak tahkim itu hanyalah ditangan Allah. Mereka juga menyandarkan pada kaidah iman yang diyakininya, yakni bahwa iman itu harus tashdiq bi-l-qalb, wa- iqrar bi-l-lisan, wal-‘amal bi-l- jawarih (membenarkan dengan hati, mengakui dengan lisan, dan mengamalkannya dengan laku fisik). Orang yang nyata-nyata berbuat maksiat (termasuk pelaku tahkim) berarti keluar dari koridor keimanan.

Perang urat saraf yang dibungkus akidah ini kemudian menjadi semakin seru dan memanas karena mereka yang dianggap kafir oleh Khawarij merasa berkepentingan untuk membuktikan kebenarannya. Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, yang diuntungkan situasi berkat trik-trik politiknya sehingga melenggang di tampuk kepemimpinan (Dinasti Umayyah), segera memberikan reaksi atas sikap Khawarij, guna melanggengkan status quo serta meyakinkan keabsahan dinastinya. Dikembangkanlah paham Jabariyyah (yang fatalistik), yang di dalamnya semua yang terjadi-baik atau buruk, manis atau getir-sudah menjadi qadha dan qadar (takdir dan ketetapan) Allah Swt. Dan, Mu’awiyah pun mendukung paham teologis seperti ini.
“Laulam Yarani Rabbi Anni Ahlun Lihadzal Amri Ma Tarakani Wa Iyyah, Walau Karihallahu Ma Nahnu Fihi Laghayyarah”
(Seandainya Tuhanku tidak melihat diriku mampu untuk memegang tampuk pemerintahan ini, tentu Dia tidak akan membiarkanku memegang tampuk kekuasaan itu. Seandainya Dia tidak menyukainya, tentu Dia akan mengubahnya), demikian penegasan Mu’awiyah.

Dan, ini rupanya sangat manjur untuk menenangkan umat Islam. Dan hampir semua orang saat itu menerima paham tersebut. Satu-satunya komunitas yang menentang sikap fatalis tersebut adalah jama’ah Muhammad ibn Ali Al-Hanafiyyah (w. 81 H), salah seorang putra Ali dari istri kedua yang secara politis mendukung Syi’ah. Melalui majlis ta’lim yang digelar di Masjid Nabawi, Muhammad ibn Ali Al-Hanafiyyah justru mengembangkan paham “qadariyyah”. Menurut paham ini, “Af’alul Ibad Minal Ibad”, yakni bahwa semua tingkah laku manusia itu berasal dan menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena itu Mu’awiyah tidak bisa mengelak dari tipu daya kekuasaannya sendiri. Komunitas di Masjid Nabawi ini sering disebut al-Qadariyah al-Ula, sebagai embrio berdirinya Mu’tazilah, karena Washil ibn ‘Atha’ (w. 131 H), pendiri Mu”tazilah merupakan seorang murid Muhammad ibn Ali Al-Hanafiyyah.

Reaksi lain atas sikap Khawarij datang dari cucu Ali, Abu Hasyim Hasan ibn Muhammad Al-Hanafiyyah yang menentang paham penguasa ini dalam kitabnya Al-‘irja’. Baginya, pelaku dosa besar tidaklah kafir dan tidak pula mempengaruhi keimanan seseorang. Mereka masih mengharapkan (‘irja’) maghfirah atau ampunan dari Allah Swt. Oleh karena itu, paham ini sering disebut Murji’ah. Paham ini kemudian diteruskan oleh murid-murid Hasan seperti Ghailan ibn Ad-Dimasyqi dan Imam Abu Hanifah.

Di tengah-tengah “perang urat saraf” antara berbagai paham dalam bidang akidah yang berakar pada persoalan politik, muncullah pemikiran sebagian generasi tabi’in yang membawa pendapat-pendapat sejuk, moderat, tawazun, dan i’tidal. Gerakan yang bersifat kultural ini dipelopori Hasan ibn Yasar Al-Bashri (w. 110 H), Abu Sufyan Ats-Tsauri, Fudlail ibn Iyadl, Abu Hanifah. Mereka menyikapi situasi saat itu dengan memilih tindakan yang menyejukkan, yakni dengan memancangkan suatu doktrin bahwa satu satunya cara untuk bisa tetap berada di jalan yang lurus adalah dengan “Ruju’ Ilal Qur’an” kembali kepada Al Qur’an. Mereka lebih memilih menarik jarak dari segenap krisis politik saat itu dan kembali kepada Al Qur’an untuk mencari kebenaran. Komunitas ini nantinya disebut paham Ahlussunnah (atau Sunni), Komunitas Hasan Al-Basri inilah yang sebenarnya merupakan “Wadli’ Al Awwal” peletak dasar paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Baru kemudian pemikirannya diteruskan oleh Abdullah ibn Kullab (w. 255 H), Harist ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H) dan Abu Bakar Al Qalanisi.

Setelah Bani Umayyah berkuasa selama 90 tahun lebih, kekuasaan pemerintahan kemudian berpindah kepada Bani Abbasiyah. Pada masa ini golongan Mu’tazilah yang rasionalis mendapat angina segar. Akal bagi golongan ini menempati posisi yang terhormat setara bahkan melebihi dalil dalil naqli (teks dari Al Qur’an dan Al Hadist). Golongan Mu’tazilah dengan kebebasan rasionya berlahan lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat islam dan mencapai puncaknya pada masa Khilafah Al Ma’mun (198 – 218 H / 813 – 833 M) Al Mu’tashim (218 – 228 H / 833 – 842 M) Al Watsiq ( 228 – 233 H / 842 – 847 M) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara yang dilindungi oleh pemerintah

Dalam penyebaran faham Mu’tazilah ini , terjadi suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah umat islam dan hususnya Mu’tazilah sendiri. Khalifah Al Ma’mun dalam upayanya menanamkan pengaruh Mu’tazilah, melakukan pemaksaan kepada seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan juga kepada seluruh masyarakat islam. Dalam hal ini, banyak ulama’ yang menjadi panutan masyarakat menjadi korban penganiayaan, misalnya imam Ahmad ibn Hambal, Muhammad ibn Nuh dan lain lain yang tidak mau mengubah pendiriannya untuk mengatakan antara lain, “bahwa Al Quran itu mahluk” seperti yang diyakini Mu’tazilah, maka mereka dianiaya dan dipenjarakan.

Ketegaran dan ketegasan mereka dalam mempertahankan keyakinan/akidah Ahlussunnah wal jamaah, serta adanya keresahan dan kegoncangan kaum muslimin yang pada waktu itu sudah bosan menghadapi pemaksaan aqidah dan mendengarkan perbedaan dan pertentangan pertentangan yang dibuat Mu’tazilah, mendapatkan simpati luas dari masyarakat, dan sekaligus menanamkan kebencian dan antipati terhadap Mu’tazilah dan kekuasaan yang mendukungnya.

Maka ketika Al Mutawakkil (233 – 247 H / 847 – 861 H) menjadi Khalifah menggantikan Al Watsiq, dia melihat bahwa posisinya sebagai Khalifah perlu mendapat dukungan mayoritas dari masyarakat. Sementara itu kelompok mayoritas islam, setelah kasus Mihnah (ujian aqidah) adalah pengikut imam Ahmad ibn Hambal, Oleh sebab itu pada masa khilafahnya Al Mutawakkil menghapus aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara/pemerintah.

Di samping itu bagi masyarakat awam, sebenarnya sulit menerima doktrin Mu’tazilah yang rasional-filosofis, mereka lebih suka ajaran-ajaran yang sifatnya sederhana dan tidak berlebih-lebihan yang sejalan dengan sunnah nabi dan tradisi para sahabatnya. Dalam keadaan yang demikian itu, muncullah tokoh intelektual dan ulama’ islam Abu Hasan Al Asy’ari (w. 324 H / 936 M) dengan ajaran aqidah (teologi) Ahlussunnah Waljamaah yang berusaha mengakomodasi (menampung) aspirasi masyarakat sesuai tingkat pemikiran, dengan tetap menjaga kemurnian ajaran islam yang sesuai sunnah Nabi dan tradisi para sahabatnya. Ajaran atau doktrin teologi Asy’ari ini kemudian dikembangkan secara dinamik oleh murid-murid dan ulama-ulama pengikutnya, seperti Abu Hasan Al Bahili, Abu Bakar Al Baqilani, Abdul Ma’ali Al Juwaini (Imam Haramain), Abu Hamid Muhammad Al Ghozali, Muhammad ibn Yusuf Assanusi, Abu Mansur Al Maturididan lain-lain.

Klaim NU sebagai pengusung tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah yang secara otomatis menjadi bagian dari peradaban islam dunia didukung oleh fakta-fakta histories. Syaikh Ahmad Khotib Assambasy (1803 – 1875 M), misalnya, ulama terkemuka yang lahir di Sambas, Kalimantan Barat, sejak mudanya sudah menunjukkan semangat menggebu gebu untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman, sengga beliau berketetapan hati bermukim lebih lama di makkah Al Mukarramah. Syaikh Ahmad Khotib Assambasy muncul sebagai tokoh sufi dan perintis kombinasi autentik dua tarekat besar “Qadiriyah wan-Naqsabandiyah”. Karyanya kitab Fathul Arifin, menunjukkan integritas keilmuan Syaikh Ahmad Khotib Assambasy di lingkungan masyarakat islam.

Pelanjut tradisi Aswaja kemudian adalah ulama besar Syaikh Nawawi Banten (1813 – 1897 M). beliau adalah ulama yang telah mencapai derajat “Mujtahid Madzhab” dibidang Fiqh. Beliau telah menulis lebih dari seratus kitab keagamaan yang hingga kini masih di gunakan di lingkungan pesantren di Nusantara dan negeri islam lainnya. Diantara karya besarnya adalah kitab Kasyifatussaja, Ta’lim Al Muta’allim, dan lain-lain. Penerus Aswaja berikutnya adalah Syaikh Mahfudz Termas (w. 1919 M) Ahli hadist ini merupakan penerus tradisi pemikiran Syaikh Ahmad Khotib Assambasy dan Syaikh Nawawi Banten. Kitab Manhaj Dzawi An-Nadzar, sebuah kitab metodologi autentisitas hadis yang hingga kini masih di ajarkan di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Selain Syaikh Mahfudz Termas, ulama tersohor lainnya yang meneruskan tradisi Aswaja adalah Syaikh Khalil Bangkalan (1819 – 1925 M). Beliau adalah ahli Gramatika Arab/Nahwu dan sharaf, dan beliau juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari Jombang. Periode selanjutnya Penerus Aswaja adalah Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan (1901 – 1952 M), ulama asal kediri yang intens mendalami tashawuf. Beliau mengarang kitab Sirajut Thalibin, sebuah komentar cukup luas atas kitab Manhajul Abidin karya Al Ghozali. Kitab ini menjadi kajian penting di beberapa Negara berpenduduk muslim.

Deretan ulama tadi adalah generasi awal yang berjasa dalam meletakkan landasan corak keagamaan Nahdlatul Ulama. Khazanah itulah yang dikenal dengan Ahlussunnah Waljamaah atau Aswaja. Seperti dikemukakan tadi, faham ini awalnya ditata oleh Imam Hasan Al Bashri sebagai generasi tabi’in pasca Rasulullah Saw, yang bersikap moderat ditengah kerisis berkepanjangan yang menimpa umat islam akibat Alfitnah Al Kubra. Satu abad kemudian, muncul Al Muhasibi, Al Qolanisi, dan ibn Kullab yang membangun dasar dasar wacana berpikir umat islam dalam memasuki abad ke 3 Hijriyah.

Langkah tersebut diteruskan oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi, hingga Imam Abu Hamid Al Ghazali, lalu dikembangkan di Indonesia pada awal abad ke 19 M, melalui wadah Jam’iyah Nahdlatil Ulama. Silsilah generasi pasca Imam Al Ghazali berkesinambungan – dalam bentuk silsilah atau sanad – hingga ke pendiri NU , Kh. Hasyim Asy’ari, melalui Imam Abdul Karim Assyahrastani, Imam Ar Razi, Al Iji, As Sanusi, Al Bajuri, Addasuki, Syaikh Zaini Dahlan, Syaikh Mahfudz Termas, terus ke K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Selengkapnya...

Aswaja Dlm Memutus Masalah

Di dalam memutuskan suatu masalah, tentu kita tidak dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut. Kita tidak menghalalkan sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalil-dalil yang jelas.
Jangan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, dan jangan pula menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Di dalam Ilmu Fiqih apabila kita melihat suatu perbuatan di tengah-tengah masyarakat, kita tidak bisa dengan secepat mungkin berkata halal atau haram.
Adapun langkah-langkahnya, sebagai berikut; pertama, Kita melihat apakah perbuatan tersebut ada perintahnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah? Kedua, Apabila perbuatan tersebut tidak ada perintahnya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut? Ketiga, kalau perintah terhadap perbuatan tersebut tidak ada dan juga larangannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, kita tinjau kembali; apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama? Keempat, kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada madlaratnya (bahayanya) terhadap agama?
Setelah tahap-tahap tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum:

1. Apabila ada perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas
dari wajib atau sunnah.
2. Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak lepas
dari haram atau makruh
3. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi
mengandung mashlahat, maka hukumnya sunnah (baik).
4. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan
perbuatan tersebut membawa madlarat maka hukumnya haram.
5. Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan
perbuatan tersebut tidak mengandung mashlahat dan madlarat maka hukumnya
mubah.

Sebagai contoh langkah-langkah pemutusan masalah, adalah bagaimana hukumnya membaca Surat Yasin malam Minggu? Di antara jawabannya sebagai berikut; perintah membaca Yasin malam Minggu tidak ada, juga larangan membaca Yaasin malam minggu tidak ada. Karena mereka dapat berkumpulnya hanya pada malam minggu, mereka mengadakan bacaan Yasin pada malam tersebut, karena bahayanya membaca Yasin malam Minggu tidak ada. Sedangkan manfa’atnya jelas, yaitu mengikat ukhuwah Islamiyah dan dzikir kepada Allah SWT. Dengan demikian, maka hukum membaca Yasin pada malam Minggu itu sunnah dalam Ilmu Fiqih. BN Selengkapnya...

NU Ahlussunnah Waljama'ah

Najril Hijar, S.Ag
Ketua Tanfidziyah PCNU Kayong Utara


Secara etimologi, 'Nahdlatul Ulama' terdiri dari dua kata bahasa Arab, nahdlah artinya 'bangkit', 'bangun', 'loncatan', dan al-'ulamâ' artinya 'orang yang mempunyai ilmu atau intelektual dalam arti modern'.
Secara istilah, 'Nahdlatul Ulama' (NU) merupakan sebuah organisasi sosial keagamaan yang dididirikan oleh para ulama pada 1926. Kehadirannya dimaksudkan untuk mengembangkan dan mempertahankan tradisi beragama yang selama itu dipegang oleh mayoritas ulama Indonesia.
Tradisi beragama ini adalah 'Ahlussunnah wal Jama'ah' disingkat ASWAJA yang dalam pemahaman dan praktek Islamnya menyandarkan diri kepada mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah ini juga merujuk pada Abu Hasan al-Asy'ari dalam bidang teologi yang dipegangnya. Selain itu, ia merujuk pada Abu al-Qasim al-Junaidy, dalam praktek dan pemikiran tashawufnya.
Mempertahankan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah ini perlu digaris bawahi karena lahirnya NU adalah respon terhadap upaya-upaya penggusuran terhadap tradisi aswaja yang dilakukan
oleh penguasa Saudi Arabia yang terpengaruh paham Wahabi. Tetapi di samping mempertahankan, NU juga berusaha mengembangkan Ajaran ini. Dengan demikian, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang menandai bangkitnya ulama, lahir karena dalam masyarakat hadir suatu kondisi yang secara kultural maupun pemikiran kurang sesuai dengan tradisi keagamaan aswaja.
Meskipun berlandas pada konsep kebangkitan seperti terlihat dari namanya, NU berusaha menjaga keseimbangan. Dalam setiap upaya kreatif yang dilakukannya, misalnya, NU sangat memperhatikan dan menghargai apa-apa yang hidup dalam masyarakat. Terutama terhadap pemikiran dan praktek keagamaan yang sudah mentradisi hidup dalam masyarakat, NU secara garis besar tetap menjaga hal-hal yang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip kepercayaan Islam. Karena itu, berbeda dengan Wahabi, NU sebagai pemegang sunnah Nabi, menjaga keseimbangan antara pengembangan Islam dan pelestarian apa yang hidup dalam masyarakat yang sesuai dengan kepercayaan yang dipegang NU. Prinsip yang dipegang NU adalah Al-muhâfazhah 'ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah, yakni memelihara apa-apa yang baik yang hidup dalam masyarakat, dan mengambil apa-apa yang lebih baik yang datang kemudian. (BNU) Selengkapnya...

Kilas Balik Perayaan Maulid

H. Badri Rofi’i
Rais Suriyah MWCNU Tl. Batang

Bulan Maulid adalah diantara senarai bulan yang banyak merekam peristiwa penting dalam historis peradaban dunia. Sebut saja hancurnya istana raja Kisra, Api yang biasa disembah orang orang majusi padam seketika setelah sebelumnya menyala selama seribu tahun. Di Bukhaira, tak ada angin tak ada mendung tiba tiba gereja gereja disana ambruk rata dengan tanah.
Namun, ada peristiwa sejarah yang tak kalah pentingnya, yakni hadirnya sosok janin yang penuh dengan kilauan cahaya ditengah tengah keluarga Bani Hasyim di Mekah pada Senin pagi 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah. Dialah Muhammad saw. Cikal bakal reformator dan revolusioner tradisi budaya kehidupan jahiliyah yang berada dilembah kebodohan dan kesesatan. Tokoh yang paling berpengaruh dan berjasa dalam menyelamatkan eksistensi nilai moral manusia.
Sejarah tak kan pernah usang, bigitulah adigium bertutur, sehingga, saban tanggal 12 Rabi’ul Awal seluruh umat Islam di belahan dunia serempak memperingati hari kelahiran Nabi saw. Atau dalam tradisi kita momentum ini lebih akrab dengan sebutan “Maulidan”.
Imam Abu Syamah Nawawi berkata, “Sebaik-baiknya bid’ah di zaman ini ialah merayakan acara tahunan yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi saw. Perayaan itu di isi dengan bersedekah kepada fakir miskin, memakai pakaian yang bagus dan berbagi keceriaan, sebagai ungkapan rasa cinta Kepada Nabi saw. Serta mengagungkan dan bersyukur kepada Allah swt. Atas di utusnya Nabi Muhammad saw. Sebagai rahmatan lil alamin. Alhafidz Assuyuthi ketika ditanyakan esensi dari acara Maulid, beliau menjawab, “Bahwa Maulidan adalah kumpulan banyak orang disertai sedikit bacaan dari ayat ayat Al Qur’an dan penyampaian kisah-kisah kelahiran Nabi saw. Kemudian disudahi dengan hidangan makanan.
Historis perayaan Maulid Nabi saw. Muncul pertama kali dalam sejarah Islam pada abad keenam Hijriyah di kota Mousul, Irak yang dipelopori oleh seorang Ulama sufi, Abu Hafsh Mu’ainuddin Umar bin Muhammad bin Khidir Al Irbili Al Mausuli (570 H). Akan tetapi menurut Imam Assakhawi, awal perayaan Maulid terjadi setelah kurun ketiga. (I’anatutthalibin, Juz III). yang paling masyhur peringatan Maulid Nabi digagas pertama kali oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1137-1193 H).
Sangatlah pantas bagi kita untuk selalu memperingati hari kelahiran beliau, sebagai wujud Syukur kita atas lahirnya Nabi Muhammad saw. (BNU) Selengkapnya...

Jaringan

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) meliputi:

  • 31 Pengurus Wilayah
  • 339 Pengurus Cabang
  • 12 Pengurus Cabang Istimewa
  • 2.630 Majelis Wakil Cabang
  • 37.125 Pengurus Ranting
Selengkapnya...

Struktur

  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)
  4. Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa/Kelurahan)

Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Mustasyar (Penasehat)
  2. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Syuriaah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Selengkapnya...

Tujuan Organisasi

Tujuan Organisasi

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Usaha Organisasi

  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.

  3. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.

  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.

  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Selengkapnya...

Dinamika

Prinsip-prinsip dasar yang dicanangkan Nahdlatul Ulama (NU) telah diterjemahkan dalam perilaku kongkrit. NU banyak mengambil kepeloporan dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa organisasi ini hidup secara dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Prestasi NU antara lain:

  1. Menghidupkan kembali gerakan pribumisasi Islam, sebagaimana diwariskan oleh para walisongo dan pendahulunya.

  2. Mempelopori perjuangan kebebasan bermadzhab di Mekah, sehingga umat Islam sedunia bisa menjalankan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing.

  3. Mempelopori berdirinya Majlis Islami A'la Indonesia (MIAI) tahun 1937, yang kemudian ikut memperjuangkan tuntutan Indonesia berparlemen.

  4. Memobilisasi perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis melalui Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945.

  5. Berubah menjadi partai politik, yang pada Pemilu 1955 berhasil menempati urutan ketiga dalam peroleh suara secara nasional.

  6. Memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 yang diikuti oleh perwakilan dari 37 negara.

  7. Memperlopori gerakan Islam kultural dan penguatan civil society di Indonesia sepanjang dekade 90-an.

Selengkapnya...

Basis Pendukung

Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

Selengkapnya...

Sikap Kemasyarakatan

Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali ke Khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Selengkapnya...

Paham Keagamaan

Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Selengkapnya...

Sejarah NU

Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Selengkapnya...

    Menu

    BUKA | TUTUP

    NU Kayong Utara

    Chat


    ShoutMix chat widget

    Download Kitab

    Ebook Islam

    Kitab Klasik