Radikalisme Agama

Radikalisme agama, dalam pengertian konotatif sebagai ide dan praktik kekerasan bermotif agama, bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Semestinya negeri ini sudah kenyang pengalaman, tetapi mengapa pemerintah selalu terlihat kedodoran?Tentu saja pemerintah yang paling bertanggung jawab menangani radikalisme agama di Indonesia. Dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya tanggung jawab besar. Sebagai kepala pemerintahan yang dipilih oleh lebih dari separuh warga negara, Presiden wajib melindungi dan menjamin hak hidup rakyat Indonesia.

Namun, dari serangkaian kasus yang terus terjadi, muncul kesan pembiaran. Penanganan aparatur pemerintah cenderung reaksioner. Dari hari ke hari kasus radikalisme terus terjadi dan tidak jelas apa capaian penanganan pemerintah. Ini memunculkan dugaan ketidakseriusan pemerintah menangani radikalisme agama.

Kesannya justru radikalisme agama menjadi komoditas politik sebagai pengalih isu. Peristiwa di Banten dan Temanggung, misalnya, secara drastis meredam gencarnya pemberitaan mengkritik kinerja pemerintah. Hingga hari ini tidak jelas apa hasil pengusutan dan penegakan hukum terhadap kedua peristiwa itu. Pengabaian terjadi hampir di semua kasus yang bermotif radikalisme agama.

Sebagai kesatuan paham dan gerakan, radikalisme agama tak mungkin dihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial. Dibutuhkan perencanaan kebijakan dan implementasi yang komprehensif dan terpadu. Problem radikalisme agama merentang dari hulu ke hilir.

Legal-formal dan budaya

Saya memandang penanganan radikalisme agama idealnya menempuh langkah legal-formal dan kebudayaan. Pendekatan legal-formal mengasumsikan tanggung jawab negara melalui koridor konstitusi dan prosedur hukum. Pemerintah bertanggung jawab melindungi hak hidup warga negara dan menjaga keutuhan NKRI sebagai harga mati. Empat pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, mesti ditegakkan.

Membiarkan radikalisme agama sama artinya sengaja membiarkan pelanggaran demi pelanggaran kemanusiaan terus terjadi. Pembiaran adalah pelanggaran hak secara pasif. Bukan tidak mungkin masyarakat justru bertanya, apakah radikalisme agama sengaja dipelihara? Apakah radikalisme agama bagian dari desain besar untuk meraih dan mengamankan kepentingan politik tertentu?

Dalam hal ini Kementerian Agama yang berkewajiban menjadi ”penghulu” semua agama justru sering berat sebelah dan merugikan kaum minoritas. Kita tak melihat ada kebijakan preventif dari Kementerian Agama. Sebagian besar kebijakan bersifat reaksioner dan sekaligus menyuburkan potensi kekerasan.

Peran intelijen dan kepolisian juga patut dipertanyakan karena seolah-olah selalu kecolongan dan kebobolan. Kita tak habis pikir mengapa kasus demi kasus terjadi dan heboh di media massa.

Dari sekian catatan buruk yang ada, kepala pemerintahan harus melangkah taktis, strategis, fundamental, dan tegas. Ini mutlak karena bersandar pada hak warga negara dan keutuhan NKRI yang diamanatkan oleh konstitusi. Presiden tentu tidak ingin dianggap tak serius menangani deradikalisasi agama. Karena itu, upaya deradikalisasi agama tak boleh sebatas simbol tanpa kerja nyata.

Persilangan budaya

Bagaimana dengan langkah kebudayaan? Pertama-tama mesti dimengerti bahwa fakta sejarah keagamaan Nusantara berada pada suatu kontinum persilangan budaya. Wajah keagamaan di Indonesia menemui kematangannya justru karena telah bersalin rupa dalam paras Nusantara. Islam, sebagai misal, Islam Nusantara adalah wujud kematangan dan kedewasaan Islam universal. Secara empiris, ia terbukti bisa bertahan dalam sekian banyak kebudayaan non-Arab. Ia bahkan ikut menciptakan ruang-ruang kebudayaan yang sampai hari ini ikut dihuni oleh mereka yang non-Muslim sekalipun.

Memang sejak zaman Imam Bonjol sekalipun radikalisme agama sudah menjadi bagian dari kontestasi kebudayaan. Ia ada untuk mengacak-acak tradisi yang sudah mapan dengan isu puritanisme, pemurnian akidah, dan semacamnya. Radikalisme Islam macam ini mudah dikenali karena memilih jalur dakwah dengan perspektif kekerasan dan menghindari tegur sapa yang hangat.

Pandangan radikal melihat Islam Nusantara sebagai Islam yang menyeleweng dari garis doktrinernya—sesuatu yang juga menghinggapi pandangan peneliti Barat, seperti Clifford Geertz.

Saya menentang pandangan tersebut. Kematangan Islam Nusantara memungkinkannya menyumbang begitu banyak khazanah budaya justru karena dilandasi keyakinan keagamaan yang utuh. Saya menyebutnya sebagai semangat keragaman (roh al-ta’addudiyyah), semangat keagamaan (roh al-tadayyun), semangat nasionalisme (roh al-wathaniyyah), dan semangat kemanusiaan (roh al-insaniyyah).

Inilah yang dalam sejarah panjang Nahdlatul Ulama menjadi garis kesadaran sejarah yang bisa dengan jelas dilihat dalam kiprah NU mengawal sejarah panjang NKRI. Garis perjuangan NU ini terus tersambung hingga hari ini.

Maka, andai pemerintah tidak kunjung serius menangani radikalisme agama, Nahdlatul Ulama akan tetap bergeming. Dengan segala sumber dayanya, NU berkomitmen berjihad membela keutuhan republik ini dan kehidupan masyarakat. Hanya saja NU menyadari bahwa upaya deradikalisasi agama tak mungkin dikerjakan sendiri.

Radikalisme agama adalah problem bersama yang membutuhkan keseriusan bersama dalam menanganinya. Pamrih NU tidak bersandar pada kepentingan politik yang parsial dan membela rezim tertentu. Pamrih NU lebih terletak pada politik kebangsaan dan kerakyatan ketimbang sekadar politik kekuasaan.

Said Aqil Siroj Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Selengkapnya...

Pernyataan Sikap PBNU

Peryataan Sikap
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Berkenaan dengan Bom Bunuh Diri
Di Masjid Mapolresta Cirebon


Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Seperti diketahui bersama bahwa pada hari ini, Jum’at, 15 April 2011 Jam 12.30 di Masjid komplek Polresta Cirebon telah terjadi ledakan bom yang diyakini merupakan bom bunuh diri yang memakan korban termasuk didalamnya Kapolresta Cirebon. Dengn ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyatakan sikap sebagai Berikut :1. Bom bunuh diri yang dilakukan di masjid komplek Polresta Cirebon adalah perbuatan biadab dan tidak dibenarkan oleh agama. Untuk itu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengutuk keras atas tindakan tersebut.

2. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meminta kepada aparat yang berwenang untuk mengusut tuntas atas kejadian tersebut dan menyeret dalang dibalik peristiwa itu ke meja hijau sesuai dengan hokum dan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyerukan waga Nahdlatul Ulama dan kepada seluruh Jajaran kepengurusan NU di semua tingkatan untuk tetap tenang dengan meningkatkan koordinasi dan kewaspadaan dalam rangka menjaga ketentraman dan kesatuan masyarakat.

Demikian Pernyataan Sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk dijalankan sebagaimana mestinya.

Wallahulmuwaffiq ila aqwamiththarieq,
Wassaalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 15 April 2011


Dr KH Said Aqil Siroj, MA
Ketua Umum

H Marsudi Syuhud
Sekretaris Jenderal
Selengkapnya...

Tausiyah Rais Aam PBNU

Hadirin hadirat peserta rapat pleno dan undangan yang kami hormati,

Alhamdulillah, pada hari ini, kita dapat menghadiri rapat pleno PBNU. Rapat ini adalah amanat Anggaran Rumah Tangga (ART) organisasi pasal 87. Walaupun kali ini diadakan agak terlambat dari seharusnya, namun di masa mendatang, kita harapkan dapat berlangsung sesuai agenda organisasi.Selaku Rais Aam saya menyampaikan selamat datang, terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya atas kehadiran Bapak Ibu dan Saudara-Saudari dalam majelis yang mulia ini. Kepada al Mukarram para pengasuh Pondok Pesantren Al Munawwir dan Pesantren Krapyak Yogyakarta (KH Zainal Abidin Munawwir, KH Ahmad Warsun Munawwir dan KH Atabik Ali) secara khusus kami ucapkan jazakumullahu khaira, atas perkenan mereka untuk menjadi tuan rumah rapat pleno kali ini. Semoga hal ini semakin memperkuat tali silaturahim dan ikatan aqidah dan historis antara PBNU dan pondok pesantren ini, amin

Rapat pleno PBNU merupakan forum enam bulanan untuk membicarakan pelaksanaan program organisasi. Sebagaimana telah dimaklumi, beberapa bulan yang lalu, PBNU dan lembaga serta lajnahnya telah mencanangkan berbagai programnya, yang sebagiannya telah dilaksanakan, sebagian yang lain belum dilaksanakan. Di samping itu, berbagai perkembangan dalam kehidupan organisasi, masyarakat, bangsa dan negara, bahkan internasional telah berlangsung dengan cepat, dalam berbagai aspek. Dinamika ini harus direspon dengan tepat dan cerdas oleh NU. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keberadaan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.

Untuk itulah, pelaksanaan program organisasi tidak boleh mengesampingkan dinamika yang terjadi. Akan tetapi hal ini tidak berarti NU harus larut mengikuti perkembangan yang terjadi; melainkan justru NU harus bisa memberikan arahan dan bimbingan (guidance) kepada warga Nahdliyyin pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. NU tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai jamiyah diniyah ijtimaiyyah, pengusung nilai-nilai luhur Islam menurut pemahaman ahlusunnah wal jamaah. Sebagai sebuah jamiyyah, NU harus berjalan sesuai dengan tata aturan organisasi. Tidak boleh ada kebijakan, sikap, dan tindakan dan pernyataan pimpinan organisasi yang tidak sesuai dengan tata aturan, mekanisme dan keputusan organisasi.

Dalam kehidupan organisasi yang benar, koordinasi antar segenap pengurus merupakan keharusan. Tanpa koordinasi, akan terjadi kesimpangsiuran dalam tata kelola organisasi. Koordinasi disini berlaku antar sesama pengurus tanfidziyah, antara tanfidziyah dan lembaga, lajnah dan badan otonom, diperkuat dengan konsultasi intens dengan fihak syuriyah sebagai pemegang otoritas tertinggi. Inilah makna keberadaan organisasi ini sebagai organisasi yang menempatkan ulama pada posisi yang khusus. Dengan demikian, konsultasi tanfidziyah kepada syuriyah dalam hal-hal yang strategis merupakan kewajiban organisasi.

Dalam hubungannya dengan NU sebagai jamiyyah diniyah, tugas organisasi ini dalam penguatan nilai-nilai Islam aswaja di kalangan warga NU dan upaya mensosialisasikannya dalam kehidupan masyarakat dan bangsa, menjadi semakin mendesak. Dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku keagamaan, hal ini dirasa sangat penting, sehubungan dengan semakin kuatnya kecenderungan radikalisme dan fundamentalisme pada sebagian umat yang menghalalkan tindak kekerasan atas nama agama. Nilai-nilai dasar aswaja sangat tidak sejalan dengan sikap itu. Adapun dalam kaitannya dengan pemikiran dan paham keagamaan, tugas membentengi warga NU dengan amaliyah dan tradisi keagamaannya dari serangan paham Wahabi dan sejenisnya, memerlukan perhatian serius dari PBNU, baik melalui dakwah secara lisan, maupun melalui penerbitan dan pengajaran.

Jati diri berikutnya dari NU ialah NU sebagai jamiyyah ijtimaiyyah. Disini, saya perlu mengingatkan kewajiban NU untuk lebih serius meningkatkan kewajiban NU dalam kerja-kerja sosial kemasyarakat. Bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan yang semacamnya merupakan lahan luas bagi NU dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kehidupan warga. Dengan menemukan secara serius program-program kerja sosial seperti itu, diharapkan agar ketertarikan sebagian pengurus NU untuk menyeret organisasi ke ranah politik praktis yang berorientasi kepada kekuasaan dapat dieliminir. Melibatkan NU dalam politik praktis, disamping tidak sesuai dengan jati diri jamiyyah, juga sangat potensial untuk mengundang keresahan, bahkan perpecahan di kalangan werga Nahdliyyin. Na’udibillah min dzalik.

Kiranya inilah beberapa catatan yang saya angap penting untuk disampaikan dalam rangka meperbincangkan pelaksanaan program kerja pada rapat pleno kali ini. Selamat mengikuti rapat dengan tekun dan serius. Semoga menghasilkan keputusan-keputusan yang bemanfaat bagi jamiyyah NU dan jamaah nahdliyyin di masa depan. Amin, ya mujibassailin. Wallhul muwaffiq ila aqwamith thariq. Wassalaulalaikum warahmatulahi wabarakatuh.

* Disampaikan dalam pembukaan Rapat Pleno PBNU yang berlangsung di kompleks pesantren Krapyak Yogyakarta, Ahad, 27 Maret 2011.
Selengkapnya...

Tradisi Mencium Tangan Kyai

Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ – رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد
Artinya : Dari Zari’ ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi s.a.w. (H.R. Abu Dawud).
عَنِ ابْنِ جَدْعَانْ, قالَ لاَنَسْ : اَمَسَسْتَ النَّبِيَّ بِيَدِكَ قالَ :نَعَمْ, فقبَلهَا
Artinya : dari Ibnu Jad’an ia berkata kepada Anas bin Malik, apakah engkau pernah memegang Nabi dengan tanganmu ini ?. Sahabat Anas berkata : ya, lalu Ibnu Jad’an mencium tangan Anas tersebut. (H.R. Bukhari dan Ahmad)

عَنْ جَابرْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ عُمَرَ قبَّل يَدَ النَّبِيْ.
Artinya : dari Jabir r.a. sesungguhnya Umar mencium tangan Nabi.(H.R. Ibnu al-Muqarri).

عَنْ اَبيْ مَالِكْ الاشجَعِيْ قالَ: قلْتَ لاِبْنِ اَبِيْ اَوْفى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : نَاوِلْنِي يَدَكَ التِي بَايَعْتَ بِهَا رَسُوْلَ الله صَلى الله عَليْه وَسَلمْ، فنَاوَلَنِيْهَا، فقبَلتُهَا.
Artinya : Dari Abi Malik al-Asyja’i berkata : saya berkata kepada Ibnu Abi Aufa r.a. “ulurkan tanganmu yang pernah engkau membai’at Rasul dengannya, maka ia mengulurkannya dan aku kemudian menciumnya.(H.R. Ibnu al-Muqarri).

عَنْ صُهَيْبٍ قالَ : رَأيْتُ عَلِيًّا يُقبّل يَدَ العَبَّاسْ وَرِجْلَيْهِ.
Artinya : Dari Shuhaib ia berkata : saya melihat sahabat Ali mencium tangan sahabat Abbas dan kakinya. (H.R. Bukhari)
Atas dasar hadits-hadits tersebut di atas para ulama menetapkan hukum sunah mencium tangan, ulama, guru, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati karena agamanya.
Berikut ini adalah pendapat ulama
1. Ibnu Hajar al-Asqalani
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani telah menyitir pendapat Imam Nawawi sebagai berikut :

قالَ الاِمَامْ النَّوَاوِيْ : تقبِيْلُ يَدِ الرَّجُلِ ِلزُهْدِهِ وَصَلاَحِهِ وَعِلْمِهِ اَوْ شرَفِهِ اَوْ نَحْوِ ذالِكَ مِنَ اْلاُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ لاَ يُكْرَهُ بَل يُسْتَحَبُّ.
Artinya : Imam Nawawi berkata : mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, atau karena kedudukannya dalam agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan, bahkan hal yang demikian itu disunahkan.
Pendapat ini juga didukung oleh Imam al-Bajuri dalam kitab “Hasyiah”,juz,2,halaman.116.
2. Imam al-Zaila’i
Beliau berkata :
(يَجُوْزُتقبِيْلُ يَدِ اْلعَالِمِ اَوِ اْلمُتَوَرِّعِ عَلَى سَبِيْلِ التبَرُكِ...
Artinya : (dibolehkan) mencium tangan seorang ulama dan orang yang wira’i karena mengharap barakahnya.
(Disarikan dari buku Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, Penerbit LTM (Lembaga Ta”mir Masjid)PBNU.
Selengkapnya...

    Menu

    BUKA | TUTUP

    NU Kayong Utara

    Chat


    ShoutMix chat widget

    Download Kitab

    Ebook Islam

    Kitab Klasik